99designs do Logo Design and more...

Selasa, 22 Maret 2011

Catwalk Citra Diri; Potensi Konflik Eksistensi Dalam Paradoks Globalisasi

Catwalk Citra Diri; Potensi Konflik Eksistensi Dalam Paradoks Globalisasi

Ketika saya melihat bahwa saya sendiri, maupun orang-orang lain yang agaknya tidak terlalu peduli dengan apa yang disebut sebagai Globalisasi. Saya bertanya-tanya apakah mungkin kita telah bosan mendengar istilah itu, ataukah sesungguhnya kita sangat asing dengan makna sesungguhnya. Bila anda, saya, kita semua mau melihat bahwa ternyata kita tidak bisa lepas dari proses yang bernama Globalisasi - lalu apakah Globalisasi itu?

Globalisasi memang adalah sebuah fenomena yang aneh di akhir abad ke-20, ia tidak sama dengan “Hubungan Internasional” maupun Interdependence. Fenomena Globalisasi adalah proses keterhubungan (Interconnectedness) seluruh pelosok bola dunia dalam tingkat extensity, Intensity, Velocity, dan Impact yang luar biasa dan belum ada sebelumnya.

Ruang dan Waktu menjadi relatif dalam proses Globalisai ini, dimana kita alami sendiri melalui begitu mudahnya akses pada media, baik Google.com yang kadang disebut Google mahatahu di dunia maya, maupun media audio visual serupa televisi, koran ,dan radio – rasanya tidak ada lagi yang membatasi pergerakan kita mencari informasi. Perkembangan media telekomunikasi telah memfasilitasi Globalisasi untuk melaju serupa percepatan gerak. Media memiliki peranan besar, namun kita tidak bisa menampikkan bahwasanya perekenomian lokal begitu dipengaruhi perekonomian global - tentu kita masih ingat peristiwa krisis ekonomi era 1998 yang masih berlangsung sampai sekarang yang nyata-nyata dipengaruhi oleh pola gerak ekonomi global. Sampai disini saja ternyata kita hanya sedikit tahu tentang Globalisasi padahal kehidupan sosial kita telah dan tengah berubah dalam kekuatan yang mengubah (transform) dari Globalisasi.

Kekuatan Globalisasi untuk mengubah ini jelas berdampak pada hidup bersama, berkeluarga, bahkan pada identitas pribadi. Ada dua gejala besar yang muncul, pertama munculnya gejala “detradisionalisasi” yang kemudian memunculkan post-traditional society , sedangkan yang kedua adalah munculnya upaya mempertahankan tradisi dengan cara-cara yang tradisional - inilah bagian dari Paradoks Globalisasi. Tradisi bukan menjadi pegangan satu-satunya lagi dalam kehidupan era Globalisasi, sebab dengan begitu banyaknya penemuan dalam bidang¬¬-bidang ilmu pengetahuan kita memang patut mempertanyakan ulang tradisi – mudahnya nasihat-nasihat orang tua tidak lagi hangat diterima orang muda. Sedangkan dipihak lain muncul fundamentalisme dan tribalisme yang berusaha memegang erat-erat tradisi sampai akhirnya melahirkan praktik-praktik yang kontras, seperti syariat berpakaian bagi wanita yang akhirnya kemudian melahirkan fundamentalisme baru ketidak-adilan Gender, juga munculnya fundamentalisme kesukuan.

Tradisi apapun memang tidak hilang, namun nyatanya memang tradisi adalah salah satu bagian dari sekian alat penafsir kehidupan. Dalam ulasannya I. Wibowo, SJ mengungkapkan bahwa ada gejala yang juga muncul dari Globalisasi yaitu Society Reflexivity yang sebenarnya mengatakan bahwa manusia sekarang memliki banyak pengetahuan dengan tersedianya begitu banyak media dan fenomena yang seolah tanpa batas, dan digunakan oleh manusia untuk mengenali dirinya sendiri. Di sini, kualitas pengatahuan itu tidak dipersoalkan, pengetahuan yang mudah didapat, diterima, dibandingkan, dan kemudian dipakai dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian, Reflexivity memang berbeda dengan Reflection, dimana Reflection menuntut kedalaman, penguasaan dan identifikasi diri yang menyeluruh.

Kemajuan transportasi dan media informasi benar-benar telah membuat ruang tidak lagi terbatas waktu, segala informasi dari pelosok dunia yang jaraknya lebih dari ribuan kilometer hanya membutuhkan sepersekian menit untuk diunduh dan diketahui - tidak hanya pengetahuan saja, namun juga Impacts lain baik itu negatif atau positif seperti perubahan perilaku konsumsi maupun pergerakan bersama orang-orang seperjuangan dalam memperjuangkan cita-cita mereka. Hal yang paling sering kita temui dilapangan adalah dalam ranah kesehatan masyrakat, orang yang menderita penyakit dapat mempertimbangkan sendiri obat-obatan apa yang akan dikonsumsi. Ada pertimbangan obat-obatan dari ahli medis professional, juga ada pertimbangan obat-obatan tradisional yang informasinya entah dari omong-omong atau iklan. Bisa jadi dia memilih salah satu, dan nyatanya ada juga yang mengkonsumsi keduanya. Pada contoh ini kita dapat melihat bahwa arus informasi yang masyarakat terima lebih sering jatuh pada Reflexivity – penerimaan yang seringkali tanpa pertimbangan lebih dalam karena desakan informasi-informasi yang masuk itu. Pilihan yang diambil masyarakat kini seolah-olah bukan lagi pilihan mereka meski otonomi ada ditangan mereka, begitu meluapnya informasi dan sugesti yang masuk justru yang menentukan pilihan apa yang mereka ambil. Apakah produk yang menarik, kemasannya bagus, iklannya elegan, sertifikasi ISO2000 atau CE - adalah produk yang betul-betul masyarakat butuhkan? Bisa jadi tidak, namun nyatanya tetap saja laris manis bak kacang goreng.

Masyarakat pada masa-masa sekarang adalah sekumpulan orang cerdas yang memiliki segudang informasi pengetahuan yang dapat mereka pilih sesuai apa yang mereka sukai, karena itu tradisi yang cenderung kaku tidak dapat lagi menjadi pegangan satu-satunya apalagi ketika tradisi tidak bisa menjawab mereka secara meyakinkan - jelas tradisi akan ditinggalkan. Ini adalah otonomi manusia untuk menentukan pilihan-pilihan yang akan mereka ambil, tiap warga masyarakat memiliki otoritas mutlak tentang segala pembelajaran yang mereka pilih. Ternyata justru disinilah paradoks Globalisasi menjadi pergumulan hebat : kita memiliki otonomi untuk memilih apapun juga namun kita lupa untuk apa kita memilih.

Para aktivis sosial gusar karena Sang Guru berpendapat bahwa mereka lebih membutuhkan terang daripada tindakan. “Terang mengenai apa?” tanya mereka ingin tahu. “Mengenai apa itu hidup,” jawab Sang Guru. “Kami tahu bahwa hidup itu ditujukan bagi orang lain,” jawab para aktivis sosial. “Terang apa lagi yang kami butuhkan?” tanya mereka gusar. “Kamu perlu memahami apa arti kata bagi,” kata Sang Guru.

Penemuan diri, siapa kita ditengah arus jaman ini membutuhkan Reflection yang mendalam sebab tidak dipungkiri bahwa segala pilihan dan apa yang kita tampilkan ke masyarakat tidak dapat lepas dari desakan untuk tidak menjadi diri sendiri. Desakan-desakan itu jelas nampak pada media iklan, bahwa citra diri yang mewah berkelas adalah citra yang paling ideal, bahwa kulit putih lebih baik dari kulit gelap, dan saat ini kita terus menerus didesak mengikuti standart-standart citra diri ideal yang ditampilkan dalam banyak media. Bahka sikap-sikap yang nampak positif seperti bentuk-bentuk pekerjaan sosial, pelayanan kesehatan ke masyarakat miskin, atau aktifis sosial lain bisa jadi pilihan ini juga bukan berdasar pada jati diri kita namun desakan-desakan iklan citra diri ideal dan Reflexivity yang dangkal atas macam-macam informasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar