Pers merupakan salah satu komponen paling esensial dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia. Banyak hal penting mengemuka mengenai kemerdekaan pers, etika, dan profesionalisme. Karena itu, pers perlu merenungkan hal prinsip, yang melandasi kerja jurnalistik profesional. Di antaranya, menyampaikan kebenaran faktual dan kontekstual, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, dan melaksanakan kode etik wartawan. Dunia pers juga dituntut melakukan pemberitaan lebih bermakna, memberi ruang untuk interaksi masyarakat. Memberi suara bagi the voiceless, yaitu mereka yang tidak berdaya atau kelompok marginal. Pers harus memberdayakan publik, dalam bentuk menyediakan informasi yang benar dan lengkap, agar publik dapat mengambil keputusan yang benar. Namun dalam perjalannya sampai saat ini pers Indonesia telah diperhadapkan dengan banyak masalah, baik itu dari pemerintah maupun dalam dunia pers sendiri. Arus kapitalisme yang berada di belakang pers memamg tidak bisa ditolak mentah-mentah karena pers memang hidup dari sit. Namun ketika ini menjadi motivasi utama dalam pers dan industri pers, maka ideologi dan tanggung jawab etis pers menjadi nomot dua. Pers sebagai media ruang publik yang bebas menjadi tercemar dan dikendalikan oleh arus kapitalisme itu. Demikian juga pemerintah, yang sangat bersinggungan dengan pers. Seringkali membunuh kebebasan pers dengan tekanan-tekanan, baik itu tekanan militer maupun politik. Hal ini sangat nampak ketika masa orde baru, namun ternyat setelah reformasi ternyata pers masih saja mendapat tekanan dari pemerintah dengan rangkaian perundang-undangannya. Lalu bagaimana pers melaksanakan tanggung jawab etisnya pada publik dan dirinya sendiri? Apakah kemudian idealisme pers akan goyah dan terjerumus pada ketidak profesionalan ? Hal ini yang akan saya bahas dalam makalah akhir semester ini dengan membaginya dalam tiga bagian besar yakni, Idealisme dan kebebasan pers, Pers yang dipersalahkan, Kebebasan Pers dan belenggu perundang-undangan, dan Paradigma tanggung jawab etis pers. Dalam membuat bahan ini saya melakukan banyak kutipan, karena cukup sulit untuk mendapat bahan soal ini, karena ini bukanlah topik umum yang biasa dibicarakan kecuali dalam dunia jurnalistik saja.
Idealisme dan Kebebasan Pers
Pers yang bebas dianggap merupakan salah satu komponen paling esensial dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia. Banyak hal penting mengemuka mengenai kemerdekaan pers, etika, dan profesionalisme. Seiring perjalanan reformasi yang membuka pintu bagi penegakan kemerdekaan pers, pers nasional dihadapkan pada sejumlah pertanyaan mendasar. Apakah kemerdekaan pers sudah memberikan kekuatan bagi kemajuan bangsa? Sudahkah digunakan untuk kepentingan kemuliaan manusia Indonesia? Pertanyaan itu didasari kesadaran bahwa dalam kemerdekaan pers itu melekat pula tanggung jawab untuk menegakkan etika jurnalistik dan mengutamakan kepentingan publik.
Idealisme dan kebebasan
Media massa hadir memang sebagai sumber publik untuk mendapatkan informasi. Karena itu kebebasan media seharusnya dimaknai sebagai jawaban untuk hak publik, sehingga tidak sebatas diartikan bebas memelintir dan memanipulasi fakta sebelum dijadikan informasi. Kemerdekaan media berarti media secara pebuh berhak untuk menuliskan berita sesuai persepsi dan perspektif mereka. Jurnalis diberi kebebasan dalam bekerja. Wartawan dan pekerja media yang lain juga menjadi lebih profesional.
Namun, tantangan besar menjaga idealisme, yang di dalamnya terkandung kesadaran untuk ikut memperjuangkan nilai-nilai universal. Karena itu, pers perlu merenungkan hal prinsip, yang melandasi kerja jurnalistik profesional. Di antaranya, menyampaikan kebenaran faktual dan kontekstual, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, dan melaksanakan kode etik wartawan.
Dunia pers juga dituntut melakukan pemberitaan lebih bermakna, memberi ruang untuk interaksi masyarakat. Memberi suara bagi the voiceless, yaitu mereka yang tidak berdaya atau kelompok marginal. Pers harus memberdayakan publik, dalam bentuk menyediakan informasi yang benar dan lengkap, agar publik dapat mengambil keputusan yang benar. Pers diminta meningkatkan profesionalisme, sedangkan perusahaan pers wajib memfasilitasi peningkatan profesionalisme wartawannya.
Satu hal yang pasti, pengertian pers sebagai penjaga gerbang informasi. Yakni, memutuskan informasi apa yang seharusnya diketahui atau tidak diketahui oleh publik, tak lagi dengan tegas mendefinisikan jurnalisme. Wartawan profesional tak lagi memutuskan apa yang seharusnya diketahui publik. Ia justru harus membantu publik untuk mengerti secara runtut, apa yang seharusnya mereka ketahui. Ketika pers harus memberikan keberpihakan, pemihakan itu harus ditujukan bagi konsensus nasional dan kepentingan publik. Inilah idealisme pers sebagai fungsi hakiki yang melekat padanya. Kini, peluang pers untuk mewujudkan terbuka, apalagi di tengah arus globalisasi, informasi menjadi sesuatu yang penting bagi setiap orang.
Pengalaman menunjukkan, rezim yang paling kejam sekali pun dapat mengumpulkan dukungan massa jika ia memanfaatkan media massa, atau memanipulasi media untuk membangkitkan ketakutan atau kebencian di masyarakat. Pers yang bebas, independen, dan plural justru dapat memainkan peran yang dibutuhkan untuk melawan rasisme dan premanisme.
Persoalannya, institusi pers tidak hidup dalam ruang sosial yang vakum. Sebagai kekuatan keempat (fourth estate) negara, pers seharusnya bisa memantau kinerja eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Setidaknya, fungsi watch dog harus dijalankan bila pers ingin dikatakan kepanjangan tangan publik. Selama ini pers selalu dikaitkan dengan perjuangan melawan kesewenang-wenangan dari pemerintah otoriter, membuat pers lekat dengan label positif, seperti pilar keempat dan watchdog. Secara historis, pers Indonesia sempat mendapat julukan pers perjuangan, namun kini sudah tak relevan.
Pers kini berkembang sebagai industri. Ini berarti profit oriented makin menguat, karena ia perlu dana untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi bukan berarti menghilangkan sisi-sisi idealisme jurnalis. Kondisi ini sedang dalam proses liberalisasi luar biasa serta euforia. Jurnalis diharapkan mampu me-lakukan pekerjaannya dengan profesional. Dengan begitu, hak untuk tahu (right to know) dan hak untuk menginformasikan (right to inform), yang telah diberikan oleh masyarakat kepada jurnalis dapat dipertanggungjawabkan .
Pers yang di persalahkan
Era reformasi yang katanya memberi kebebasan penuh kepada pers untuk"berekspresi", ternyata tak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Bahkan,eksistensi pers saat ini justru terancam karena adanya tudingan bahwa pers telah memutarbalikan fakta secara berlebihan dengan tidak lagi mengindahkan etika profesionalismenya. Bahkan, pers saat ini justru dianggap telah memperkeruh jalannya pemerintahan sehingga pers layak untuk dijadikan tertuduh dan kemudian wajar jika menjadi kambing hitam atas kegagalan operasional pemerintahan sekarang . Yang justru menjadikan permasalahan bahwa seharunya pemerintah lebih berintrospeksi atas pemberitaan tersebut dan bukannya justru mencari pembenaran sepihak dengan cara menyalahkan pers. Bagaimanapun juga apa yang disampaikan pers atas pemberitaannya telah sesuai dengan porsi tuntutan profesionalisme - aspek kaidah jurnalistik yaitu menyampaikan kebenaran fakta. Sayangnya, ketika pers menjalankan peran dan fungsinya ini ternyata pemerintah justru merasa kebakaran jenggot. Artinya, tidak ada upaya korektif terhadap kegagalan yang terjadi (jika memang mau mengakui).Kenyataan ini tentu sangat ironis sebab eksistensi pers di era reformasiternyata semakin mandul dan dikebiri oleh kepentingan stabilitas sospol yang sifatnya cenderung semu. Jika kenyataannya demikian lalu bagaimana ke depannya? Bagaimana eksistensi- nilai peran pers dalam menyuarakan kebenaran
Pers adalah "mata pena", yang terkadang tumpul dan juga terkadang tajam. Tumpul dan tajamnya pers sangat tergantung pada bagaimana insan-insan pers mampu merefleksikan sebuah tuntutan dan juga komitmen. Dua hal inilah yang kemudian menentukan proses investigasi atas suatu pemberitaan. Meski demikian, tuntutan dan juga komitmen itu tak bisa terlepas dari koridor independensi dan juga etika pers. Oleh karena itu, seiring laju booming pers, baik yang cetak ataupun audio -visual, maka tidak ada salahnya apabila komunitas pers juga dituntut semakin proaktif dalam mensikapi tantangan ke depan. Hal ini memang tidak mudah sebab bagaimanapun juga ada proses egoisme yang muncul di internal tubuh pers itu sendiri dan egoisme ini bisa menjadi ancaman serius jika tak bisa
dimanage secara optimal. Kenyataan tentang ancaman egoisme pers tersebut paling tidak bisa kita lihat ketika saat ini banyak bermunculan media-media pers yang tidak sesuai dengan etika - norma ketimuran kita (terutama menjamurnya media esek-esek). Booming media pers porno tersebut secara pelan tetapi pasti justru akan dapat membinasakan institusi pers secara umum. Jadi egoisme seksual yang telah sukses merasuki insan pers pada akhirnya justru memicu munculnya media pers porno. Kondisi ini semakin parah ketika publik dengan setengah hati memandang dan juga merespons positif atas munculnya media pers porno ini. Kemunafikan publik ini yang akhirnya bisa dengan sukses menumbuhkembangkan klasifikasi media pers porno. Selain itu, dari pihak yang berwajib juga terkesan acuh tak acuh terhadap realitas menjamurnya media pers porno yaitu di satu sisi mereka merazia media-media porno, tetapi di sisi lain mereka justru "membiarkan" (danbahkan ikut aktif membacanya?) media pers porno. Selain kritikan dan ancaman sosial dari menjamurnya media pers porno, factor lain yang juga menjadi ancaman serius bagi perkembangan pers ke depan yaitu terkait dengan sisi egoisme jurnalistik. Padahal publik mengakui bahwa eksistensi pers adalah berlaku jujur dan tidak memihak siapapun serta bersikap adil dalam menyampaikan pemberitaan yang mengarah pada suatu kasus. Sayangnya, meski individual pers telah memahami dan juga mengakui komitmen ini, toh dalam prakteknya tidak jarang (meski kita tidak bisa untuk menyangkal mengatakannya sering) egoisme jurnalistik juga muncul. Konsekuensi dari munculnya egoisme jurnalistik ini akhirnya justru akan merugikan media pers tersebut (terutama jika dikaitkan dengan salah satu pihak yang merasa dirugikan atas isi dari nilai pemberitaan yang disampaikan). Bahkan, banyak kasus yang terjadi sebuah media pers didemo komponen masyarakat karena dianggap keberadaannya dilecehkan pers dan atau ekspose pemberitaan yang dilakukan tidak berimbang . Dua contoh ironis di atas pada dasarnya menunjukan tentang ancaman independensi pers yang dewasa ini semakin nyaring disuarakan, tidak saja oleh komunitas pers, tetapi juga oleh publik (tentunya bukan tipe publik yang munafik), serta pemerintah yang dalam hal ini bertindak sebagai mediator-kontroler. Hal inilah yang kemudian memicu kontroversi.
Adanya kenyataan tentang dua hal tersebut, yaitu kebebasan pers (meski disinyalir telah kebablasan) dan ancaman belenggu pers, maka tidak ada salahnya jika komunitas pers dituntut untuk dapat melakukan instrospeksi (internal dan eksternal). Alasannya karena dikotomi antara kebebasan pers dan juga ancaman belenggu pers secara lambat tapi pasti akan mematikan proses pencerdasan dan pendewasaan dalam opini publik. Padahal, ada keyakinan yang sangat kuat bahwa opini publik merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses pembangunan demokrasi dalam suatu negara. Jadi jika opini publik terbius oleh dikotomi antara kebebasan pers dan ancaman belenggu pers, maka bisa dipastikan bahwa opini publik akan menjadi tumpul dan proses ketumpulan ini akan menjadi suatu ancaman serius bagi pembodohan suatu generasi.
Mengacu realitas tersebut media massa sebagai salah satu pilar negara juga mempunyai agenda untuk menciptakan opini publik (yang tak lain adalah bagian dari proses independensi pers). Hal ini tentunya sangat terkait erat dengan pertanyaan mengapa sebuah kasus bisa di-blow up di media? Banyak media berpendapat bahwa pemberitaan kepada khalayak itu didasari oleh "hak untuk tahu" bagi masyarakat. Oleh karena itu, seiring dengan kebebasan pers yang kini sudah dirasakan media pers, maka kita cuma bisa berharap bahwa media dapat berlaku profesional. Artinya, berbagai pemberitaan tersebut harus benar-benar dilandasi tuntutan dan komitmen bahwa mereka ada untuk melayani "hak untuk tahu" masyarakat. Ini seharusnya membuat media bebas dari nilai (neutral value) atau intervensi (meski ada suatu kenyataan bahwa sistem bebas nilai itu akan selalu bersinggungan dengan sisi permainan politik, bahkan di negara dan masyarakat paling demokratis sekalipun). Jadi, inilah tantangan bagi pers Indonesia! Bahwa independensi pers tidak seharusnya diartikan sebagai suatu kebebasan yang mutlak tanpa sensor dan kritik dari publik. Independensi pers yang diartikan seperti ini justru pada akhirnya mematikan komunitas pers itu sendiri. Oleh karena itu, seiring dengan laju pendewasaan komunitas pers dan juga pencerdasan kehidupan masyarakat, maka tidak ada salahnya jika pers berintrospeksi, toh hasilnya juga akan lebih memacu kehidupan dan juga pendewasaan pers Indonesia. Proses introspeksi yang dilakukan oleh pers seharusnya juga diikuti pihak lain, termasuk juga dalam hal ini adalah pemerintah. Artinya, ada kesesuaian dalam memahami eksistensi pers, sebab jika tidak, maka pers akan selalu disalahkan, menjadi tertuduh, provokator, dan keberadaannya justru menjadi
kambing hitam. Dengan kata lain, jika introspeksi itu dapat dilakukan oleh semua, maka proses demokratisasi juga akan semakin berkembang.
Kebebasan Pers dan Belenggu Perundang-undangan
Undang-undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999 sebenarnya telah memberi landasan kuat bagi perwujudan kebebasan pers di Indonesia. Namun, dalam praktiknya hingga kini kebebasan pers belum berlangsung secara substansial. Kebebasan itu masih berhenti pada tataran artifisial, sehingga pers kurang berhasil memberikan kontribusi yang berarti bagi proses demokratisasi yang berlangsung di Indonesia.Mengapa ini bisa terjadi? Ada berbagai jawaban di sini. Penghargaan insan pers terhadap profesinya masih rendah, sehingga sering terjadi pelanggaran etika dan profesionalisme jurnalistik yang justru kontraproduktif bagi esensi kebebasan pers. Maraknya aksi-aksi massa terhadap kantor penerbitan pers, di sisi lain menunjukkan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kebebasan pers juga menimbulkan kerumitan tersendiri. Namun, ada masalah yang lebih serius dalam hal ini, yang sering luput dari perhatian kita. UU Pers bukan satu-satunya produk hukum yang menentukan hitam-putihnya kehidupan pers pasca- Orde Baru. Reformasi yang telah berlangsung sekian lama ternyata belum menyentuh sejumlah produk hukum yang menghambat kinerja pers dalam mengungkapkan kebenaran. Pers notabene tak berhasil mengungkapkan kasus KKN dan pelanggaran HAM Orde Baru karena terbentur produk-produk hukum yang mengatur klasifikasi rahasia atas informasi yang dikelola lembaga pemerintah .
Belenggu kerahasiaan
Dalam KUHP misalnya, setidaknya ada 20 pasal yang mengatur ketentuan hukum tentang rahasia jabatan, rahasia pertahanan negara, rahasia dagang, dan sebagainya. Ketentuan serupa juga diatur dalam UU Perbankan, UU tentang Rahasia Dagang, UU Kearsipan, dan UU Peradilan Umum. Dalam undang-undang ini, secara general dan elastis diatur informasi-informasi yang dianggap rahasia dan dilarang disebarluaskan, termasuk hukuman-hukuman yang berat bagi pelanggarnya.
Pada titik inilah UU Pers kehilangan efektivitasnya dalam melindungi kinerja jurnalis. Para pejabat publik yang terlibat KKN atau pelanggaran HAM, sengaja atau tidak telah menggunakan sejumlah undang-undang itu sebagai tameng untuk melindungi diri dari jerat hukum dan investigasi pers. Akibatnya, UU Pers menjadi tidak efektif untuk memaksa pejabat atau lembaga publik memberi informasi berkait kasus tertentu. Sebagai contoh, UU Pers tidak dapat memaksa KPU memberikan data kekayaan anggota DPR sebelum mereka menjabat. UU Pers juga tidak cukup kuat memaksa pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Buloggate II untuk memberikan informasi yang dibutuhkan guna mengungkap kebenaran kasus ini.
UU yang mengatur kerahasiaan informasi itu bahkan amat berpotensi untuk menyeret jurnalis masuk bui. Sebab, penguasalah yang akhirnya memegang monopoli definisi rahasia negara, rahasia militer, rahasia jabatan, dan semacamnya. Monopoli yang dimungkinkan karena klausul-klausul tentang kerahasiaan informasi adalah pasal karet yang dapat diinterpretasikan sesuai kepentingan penguasa
Konservatisme politik
Produk UU yang mengatur kerahasiaan informasi itu belum terselesaikan, kini dunia pers menghadapi ancaman lebih serius. Sejak beberapa bulan lalu, di DPR beredar draf RUU Kerahasiaan Negara. RUU ini telah disiapkan Dephankam sejak tahun 1996, dan memuat klausul-klausul tentang berbagai informasi pemerintahan yang dianggap rahasia negara. Namun, klausul-klausul itu terlalu general. Tidak ada batasan yang jelas dan rinci tentang apa itu rahasia negara. Lebih membahayakan lagi, wewenang untuk menentukan suatu informasi sebagai rahasia negara diserahkan kepada para pimpinan lembaga pemerintahan. Dapat dibayangkan, betapa repotnya jika setiap lembaga pemerintah berhak merahasiakan informasi-informasi yang dimilikinya. Bisa-bisa, kita akan kembali ke masa lalu di mana birokrasi yang berlapis-lapis sengaja diciptakan untuk membentengi lembaga atau pejabat pemerintah dari usaha-usaha investigasi pers.
Kalangan pers, hendaknya memperhatikan benar perkembangan RUU Kerahasiaan Negara. Mereka yang terlibat KKN atau pelanggaran HAM di masa Orde Baru besar kemungkinan amat berkepentingan dengan pengesahan RUU ini. Tanpa kecuali para politisi yang saat ini duduk di kursi parlemen.
Konservatisme politik telah membungkus sikap dan pernyataan kalangan DPR dalam merespons dinamika sosial politik di luar dirinya. Dan konservatisme ini makin nyata dengan munculnya ide untuk merevisi UU Pokok Pers No 40/1999. Ide ini menyeruak dalam Rapat Kerja antara Menteri Negara Informasi dan Komunikasi Syamsul Muarif dengan anggota Komisi I DPR, 6 Desember 2001. Beberapa anggota DPR menganggap UU Pers telah gagal mengantisipasi ekses-ekses negatif dari kebebasan pers. Maka dirasa perlu untuk memasukkan kembali pasal-pasal delik pers KUHP ke dalam UU Pers .
Pada titik ini, makin jelas bahwa kendala bagi perwujudan kebebasan pers bukan hanya datang dari aksi-aksi massa yang membabi-buta, atau dari lemahnya kualitas SDM dan profesionalisme pers itu sendiri. Ancaman bagi masa depan kebebasan pers juga datang dari sejumlah perundang-undangan yang tidak kondusif bagi hak-hak publik untuk mendapatkan informasi. Maka dari itu, seharusnya pers memberi perhatian memadai terhadap proses-proses politik yang memungkinkan lolosnya undang-undang yang bersifat "menghambat keterbukaan" seperti halnya UU Kerahasiaan Negara.
Bersama unsur-unsur masyarakat sipil lain, pers harus membangun opini publik untuk melawan konservatisme politik, seperti yang mewujud dalam gagasan untuk memunculkan UU Kerahasiaan Negara dan merevisi UU Pers. Sebaliknya, pers seharusnya secara aktif mendukung perjuangan untuk pengesahan RUU Penyiaran dan RUU Kebebasan Informasi versi masyarakat sipil. Peringatan ini amat relevan karena belakangan konsentrasi pers cenderung hanya terfokus pada isu-isu politik yang spesifik dan hangat.
Paradigma Tanggung Jawab Etis Pers
Sudah menjadi pengakuan umum bahwa setelah reformasi 1998 bergulir, pers Indonesia mengalami titik balik kebebasan yang cukup signifikan. Perkembangan kuantitas dan kualitas pers, baik media cetak maupun media elektronik, bertumbuh secara drastis. Munculnya gejala surat kabar dan tabloid baru atau radio dan televisi baru merupakan hal yang biasa. Kemudahan untuk mendapatkan ijin penerbitan atau hak siar pada udara Indonesia telah menjadi paradigma yang patut disambut gembira. Dapat dikatakan, masyarakat Indonesia akhirnya punya berbagai macam alternatif saluran komunikasi sosial yang tentunya juga sangat mudah diakses. Tapi masalahnya, di balik kebebasan dan perkembangan pers Indonesia yang bersifat konstruktif tetap dirasakan dampak buruk yang menyertainya. Pers sebagai alat komunikasi massa mempunyai kekuatan pengaruh baik atau membangun dan pengaruh buruk yang cenderung menggerus tatanan sosial moral masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran tanggung jawab sosial pers untuk mengantisipasi dampak negatif yang diakibatkan oleh perkembangan pesat pers di Indonesia.
Refleksi etis atas perkembangan pers pasca 1998 didasari dengan tiga macam asumsi, yaitu etika deontologis Kant yang menekankan prinsip nilai moral yang “harus” dilakukan oleh insan pers sebagai etos kebenaran, asumsi objektivitas moral dan eksistensi pers di Indonesia dan pada akhirnya asumsi prinsip kemandirian pers dalam konteks ekonomi, sosial dan politik. Dimana pers diharapkan menjadi pers yang independen dan merdeka dalam arti yang positif. Tiga asumsi dasar ini menjadi landasan bagaimana kita membangun dan memahami keberadaan serta iklim kebebasan pers di Indonesia. Muara dari argumentasi dan beberapa asumsi di atas adalah konstruksi paradigma etis yang perlu dipertimbangkan oleh para pelaku media massa Indonesia. Tapi masalahnya, apakah memang benar realitas pers adalah realitas yang bisa benar-benar mandiri dan bebas dari seluruh kepentingan yang berada di belakangnya ? Apakah memang ada sebuah etos moralitas dan tanggung jawab etis yang “deontologis” dan bersifat objektif dalam kehidupan pers di Indonesia pada khususnya maupun media global pada umumnya ?
Sekarang, pers telah menjadi realitas yang begitu kompleks berikut dengan dampak-dampak yang menyertainya. Realitas pers yang begitu kompleks justru berkembang ketika media telah mengalami revolusi komunikasi yang drastis. Perkembangan internet, telepon, fax, sistem industri dan kepemilikan media atau pers secara vertikal-horizontal, surat kabar elektronik, sistem kepenyiaran langsung melalui satelit, new interactive multi media - yang menggabungkan kemampuan sifat yang visual-auditif-interaktif dalam satu paket media telah mengubah pemahaman kita terhadap definisi tentang pers itu sendiri. Kemudian ketika pers, termasuk di dalamnya pers Indonesia, mengalami perkembangan identitas yang semakin kompleks, maka diperlukan juga paradigma etis yang lebih harus bersifat komprehensif dan baru dalam memaknai tanggung jawab moral pers, baik secara lokal maupun global.
Pertama, paradigma yang harus dikembangkan adalah paradigma pemahaman bahwa esensi dan eksistensi pers harus dilihat sebagai totalitas. Artinya, pers pertama-tama harus diletakkan dalam totalitas sosial yang lebih luas, sebagai bagian penting dari proses-proses ekonomi, sosial dan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Perspektif ekonomi politik pers setidaknya menjadi perspektif yang menyatakan bahwa terjadi relasi tidak terpisahkan antara para pelaku pers, pemerintah dan pasar. Ini berarti bahwa pengembangan etika atau moralitas pers harus juga didasarkan pada asumsi relasi tak terpisahkan antara interaksi sosial-ekonomi pelaku pers, situasi politik sosial pemerintahan yang sedang berlangsung dan kebutuhan pasar atas hak informasi yang benar. Etika harus hadir dalam konteks ideologi-sosial-ekonomi yang lebih konkret.
Kedua, berhubungan dengan point pertama, struktur etika atau tanggung jawab moral pers tidak bisa berdiri secara objektif dan ontologis tanpa konteks struktural yang jelas. Pers diposisikan dalam relasinya dengan publik, kekuatan kapital dan struktur kekuasaan politik.
Ketiga, soal krusial dalam pengembangan tanggung jawab sosial pers bukan semata diletakkan pada soal tanggung jawab sosial sebagai tugas utama insan pers tapi bahwa tanggung jawab sosial harus diletakkan dalam konteks yang lebih luas. Konteks etika pers yang lebih luas terlihat dan terwujud dalam usaha regulasi media itu sendiri. Regulasi pers tidak semata-mata dilihat sebagai “tali kekang” yang membatasi kebebasan pers. Tapi justru regulasi pers ini harus dipahami sebagai wujud tanggung jawab otonom insan pers, pemerintah, pemegang kapital dan konsumen pers.
Kita akan sulit menemukan pers yang sedemikian bebas dari segala kepentingan baik kepentingan publik maupun kepentingan negara. Tapi permasalahan dalam regulasi pers adalah bagaimana kita bisa membentuk aturan main yang menjaga fairness, nilai prinsip keadilan yang jelas patokan normanya, menjamin prinsip harmoni kepentingan yang saling tarik-menarik dalam proses produksi pers.
Regulasi etika pers tidak sekedar soal dan masalah mikro pers, seperti soal objektivitas berita (hal ini menyangkut soal kebenaran objektif, produk media meskipun telah didasarkan oleh fakta tetap saja akan menampilkan fakta tersebut dalam realitas simbolik yang tidak identik dengan realitas objektif; itu saja kalau realitas objektif itu ada) - bukankah objektivitas itu hanya sekedar soal kesepakatan sosial saja? Juga dalam hal regulasi etik pers tidak sekedar membahas soal imparsialitas produk media, sistem kepemilikan media massa secara horizontal-vertikal, sistem nilai anonim yang ditimbulkan oleh teknologi informasi yang canggih.
Perkara etika dan regulasi pers terutama pers Indonesia tidak berhenti pada soal isi dari sebuah media atau soal bahasa yang dipergunakan dalam sebuah sistem media massa. Isi dan bahasa lebih merupakan proses interpretasi yang sudah terbangun dalam sistem sosial masyarakat. Justru pada suatu titik tertentu, media atau pers mampu membangun paradigma interpretasi yang akhirnya diyakini oleh sistem sosial masyarakat. Jadi pers dan masyarakat tidak bisa dilihat sebagai satu per satu entitas. Tapi dipahami sebagai suatu proses interplay - proses relasi timbal balik dan saling mempengaruhi satu sama lain. Suatu produk pers tidak bisa dipisahkan oleh sistem distribusi dan konsumsi yang berlaku dalam masyarakat.
Paradigma etika baru dalam regulasi pers yang dipahami menyangkut proses saling membentuk rasionalitas yang lebih konkret dan situasional. Lebih signifikan dapat dikatakan bahwa paradigma baru tentang moralitas pers yang tertuang dalam regulasi pers adalah sejauh mana pers semakin memposisikan diri sebagai realitas yang berfungsi sosial utuh. Pers harus mampu menjadi media efektif, dewasa dan rasional proses komunikasi sosial antar warga atau antara warga dengan negara. Proses pemaknaan kebenaran dan pembenaran dalam masyarakat diletakkan atas dasar dialog moral yang berkembang.
Sementara itu, regulasi etik pers juga harus memampukan pers sebagai pendorong terciptanya pers lokal, sebuah ranah publik yang bisa menjadi alternatif hak akses atas informasi yang seimbang, rasional dan konstruktif. Tentu soal nilai keseimbangan, rasionalitas dan proses konstruktivisme merupakan diskursus yang dinamis. Sementara tidak menafikan nilai etis universal, tapi tetap saja universalitas etika dibangun dari bingkai-bingkai subjektivisme yang menjadi konsensus sosial. Hal ini yang menjadi tantangan baru dari pers modern di mana sejauh mana pers mampu dan mau semakin dituntut untuk membuka celah-celah kebenaran dan pembenaran yang dibentuk.secara sosial.
Diskursus paradigma tanggung jawab sosial pers belum selesai. Teknologi pers masih berkembang dan hal itu menuntut kita untuk menempatkan etika bukan sebagai dunia yang jauh dari realitas yang sebenarnya. Tulisan ini mau memberikan ide bahwa paradigma etik tidak sederhana justru karena realitas pers semakin kompleks. Proses penyederhanaan etika pers justru akan mereduksi peran dan manfaat pers bagi perkembangan budaya. Paradigma baru etika pers menyatakan bahwa etika adalah tanggung jawab bersama. Kewajiban insan pers adalah membentuk dan menciptakan pers yang bertanggung jawab terhadap proses dinamisasi kemanusiaan. Tugas pemerintah adalah membentuk aturan main yang adil sehingga kepentingan pers dan masyarakat tetap terjaga dan tidak saling berbenturan. Tugas kita adalah menjadikan diri kita mampu mengkritisi dan menikmati media massa secara proporsional, sehat, dewasa dan rasional.
Daftar Pustaka
Basuki Wisnu, 2002 . Pers dan Penguasa Pustaka Sinar Harapan. : Jakarta
Sihotang, Kasdin “Tanggung jawab moral Pers” (dimuat pada Suara Pembaruan, tgl 23 Februari 2002).
Susseno, Franz Magnis. 1985. Etika Dasar. Kanisius. Yogyakarta
Stott, Jhon. 1993 . ISU-ISU GLOBAL (Menentang kepemimpinan Kristiani), Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.. Jakarta
http://ekawenats.blogspot.com/2006/03/paradigma-tanggung-jawab-etis-pers-ag.html tanggal akses 20 april 2007.
Pers yang global http://www.suaramerdeka.com/harian/0602/09/opi4.htm diakses tanggal 20 April 2007
http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/2002-September/000262.html diakses tanggal 20 April 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0205/08/opini/kebe04.htm tanggal akses 4 mei 2007
Saatnya Menuju Pers Indonesia Independen, Mimbar http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0205/08/1104.htm tanggal akses 5 Mei 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar